Cerpen Ala Kadarnya,
Dibalik Kabut
Sudah enam hari Aryana tinggal di
kampung halamannya sejak kepergiannya ke kota tempat ia menekuni ilmu.
Baru kali ini Aryana pernah pulang
ke tempat kelahirannya setelah setahun ia berada dirantauan di kota Malang, kota
dingin tapi menyejukkan hati bagi setiap insan yang cinta ilmu dan cita-cita.
Maksud Aryana pulang, karena terpendam
kerinduan wajah nenek sudah keriput dan
sakit-sakitan.
Lain dulu lain pula sekarang.
Bertambahnya hari berarti bertambahnya sukma yang gila kemajuan.
Kini kampungnya Bangli telah banyak
perubahannya. Pohon –pohon yang dulu kuning dan kering, kini telah segar bagai sesejuk
hari mengalunsenja. Barang kali akibat penduduk yang kini telah banyak mau
mengatur dengan pola pembangunan desanya. Sedang rumah Aryana sendiri tetap
seperti dulu. Cuma itu saja. Apalagi hanya kini rumah Aryana hanya dihuni oleh
seorang nenek bersama Sri adik misannya.
Di desanya kini sepi segala polusi.
Yang ada cuma petani-petani penggarap sawah perladangan dan anak gembala yang
membunyikan serulingnya di tengah padang rumput hijau lepas.
Burung di pagi hari, jangkrik di
malam purnama saling melagu mengeluarkan ciri khasnya. Yangcukup terhibur
dengan panorama desanya yang aman yang penuh keasrian.
Namun di hati Aryana lain, ia pulang
karena surat dari Sri yang memberitakan neneknya sakit keras. Memang benar.
Malahan nenek tidak mampu bangun dari tidurnya. Berbaring terus. Terus menerus,
sedangkan Aryana di perguruannya sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Sungguh
lara hati Aryana menerima kenyataan ini.
Di rumahnya ia tidak dapat belajar,
dia hanya menunggu dengan setia ketenangan neneknya, padahal ujian akhir
dimulai pada minggu awal setelah kepulangannya.
“Kak, apa yang bisa perbuat untuk
menyembuhkan nenek”, ucap Sri.
Aryana diam, tak menjawab pertanyaan
adiknya. Desah di hatinya sejak bergejolak perasaan perih berbaur, bercampur
dengan pikiran kacau.
Kenapa jadi begini. Dosakah aku?,
bisik hati Aryana.
“Bagaimana, kak? Kita tak punya
uang. Beraspun telah menipis”.
Hati Aryana tambah pedih mendengar
penjelasan adik sepupunya. “tak punya uang, beras telah menipis”, tak kalah
nyerinya dengan goresan silet pada kulit dirasakan oleh hati Aryana.
“Tenanglah, dik” Cuma itu yang
keluar dari mulut Aryana . Dan ucapan
itu dikeluarkan dengan paksa akibat dada dan batin terasa sakit menusuk.
“Nenek
perlu pengobatan segera, kak”.
“Tapi apa yang kita perbuat, dik”.
“Menjual ini.................” Sri
menunjuk jari manisnya.
Aryana ingat, cincin itu adalah pemberian
ibuku sebelum ia merajut tali pernikahan yang kutitipkan kepada Sri sebelum
kepergianku menimba ilmu.
“Simpan saja cincin itu, dik”, pinta
Aryana dengan nada berat.
“Lantas, bagaimana kita membantu
nenek”.
“Kakak mau berusaha mencari uang,
dan membelikan obat untuk nenek”.
“Dimana kakak mencari uang, dan
membelikan obat untuk nenek?”.
“Kakak akan berburuh”
“Yang benar, kak”
“ Tentu, dik”.
Satu setengah hari Aryana
meninggalkan rumah. Terkatung-katung mencari kerja. Ia hanya menperoleh uang seribu
rupiah, dari membantu memindahkan jeruk untuk diwaba ke Kota.
Uang itu digunakan untuk membeli
obat neneknya dan sisanya untuk membeli beras. Atas usahanya neneknya semakin
membaik.
Memang, waktu berjalan sangat cepat.
Masa ujian Aryana tinggal dua hari lagi. Hal ini sangat mengganggu ketenangan
pikiran Aryana. Apakah dia akan meninggalkan neneknya yang semakin dekat dengan
maut? Atau tinggal di rumah menunggu kesehatan neneknya agar pulih kembali? Dua
masalah jadi pertentangan dalam batin yang tak dapat terselesaikan.
“Kak, ujiannya kapan?”
Benar-benar pertanyaan menambah
perih hati Aryana. Tak terasa beberapa butir air bening telah menetes di
pipinya dan kadang-kadang langsung jatuh terkena lengan neneknya.
“Kenapa menangis, Kak?”
Aryana diam, dengan kepala
tertunduk, lesu.
“Maafkan Sri kak, mungkin pertanyaan
Sri menyakiti hati kakak”
Semua kemelut yang diselimuti kabut
tebal pada diri Aryana dan Sri dirasakan pasti oleh neneknya walau dengan mata
terpejam.
Sri menatap neneknya. Menatap dan
terus menatap . Aryana tetap tertunduk. Sri melihat mulut neneknya bergerak
“Sri..................”.
panggilannya lemah, tapi jelas memanggil namanya.
“Yan...................aaa”,
panggilannya tersendat-sendat.
“Ya...........................nek............”.
“Berangkatlah besok
saja...............”.
“Tapi bagaimana dengan kesehatan
nenek”.
“Berdoalah dari sana agar nenek
cepat sembuh”.
“Sri sendirian,
nek.................”.
“Tak perlulah kau bersedih. Dengan
tangismu tak mungkin pula akan menyambung hidup nenek. Tangismu hanya sekedar
menyampaian dukamu, sedang hidup dan mati semuanya bergantung pada Tuhan.
Pergilah demi untuk dirimu dan untuk Sri kelak.
“Tapi................nenek jangan
sakit lagi.., pinta Aryana memohon, dengan penuh harap kepada Tuhan.
“Ya......................cucuku, tak
usah kau pikirkan lagi tentang nenek”.
Keesokkan harinya hati Aryana
sedikit cerah, karena ada sedikit bayangan untuk kembali ke Kota. Tapi
disamping cerah atas keberangkatannya, terselip juga kesulitan persiapan
keberangkatannya.
“Sri...................Sri........”.
Panggil Aryana.
“Ya............kak, apa lagi?
“Kakak tidak punya bekal lagi”.
“Lantas, kemana kakak akan mencari
uang?”
“Sri.............berani kau menyuruh
Pak Ketut untuk membantu menggadaikan pakain yang satu ini”,
“Jangan, kak, nanti apa yang kakak
pakai, kakak hanya memiliki sedikit pakaian”.
“Disana kakak barangkali bisa
meminjam dengan teman. Cepatlah .......cari Pak Ketut dan nanti setelah kakak
berangkat sampaikanlah kepada nenek”.
“Lebih baik kakak temui nenek dulu”.
“Jangan, nanti akan menambah
kekangenan, akibatnya selalu menjadi pekiran”.
“Ya....kak”.
Akhirnya menjelang sore hari barulah
ia berangkat dengan bekal yang cukup. Dalam perjalanan Aryana selalu merenung,
merasakan angin mendung di langit biru seakan-akan membawa beban atau firasat
nyata keadaan keluarganya.
Sebulan lamanya Aryana pulang ke
kampung halamannya, dengan membawa kabar yang mengembirakan keluarganya.
Membawa pengakuan. Telah menyandang gelar sebagai pendidik. Tugas yang mulia
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Sedang neneknya masih saja berbaring
lesu. Di luar masih saja langit berselimut kabut tebal. Seperti keadaan
keluarga Aryana sekarang. Tapi, dibalik parahnya sakit neneknya masih ada
senyum bernaung di hati mereka sebagai penghalau keresahan.