Aryana memandangi
langit senja ini. Terasa kelam dan redup, meski sebenarnya ini hari yang cerah.
Hati yang risau membuatnya begitu. Ia duduk sendiri bersandarkan rumput-rumput
kering. “Kapan hidupku tak lara lagi?” ucapnya dalam hati sambil melamun.
Tak
terasa sang surya sudah terbangun. Ternyata
Aryana tertidur dalam lamunannya. Saatnya untuk kembali bekerja. Mencetak batu
bata seratus perhari adalah target yang harus dicapai. Bukan untuk sekolah
melainkan untuk makan sehari-hari.
“Bu…ini
ada sedikit uang dari mencetak batu bata tadi”
“Terimakasih
yan…akan ibu belikan beras, maafkan ibu harus membuatmu berkerja seperti ini”
“Tidak
apa-apa bu, tinggal bersama ibu, aku sudah merasa bersyukur”
Iya..
Aryana dari kecil ditinggal orang tuanya. Bukan karena meninggal dunia,
melainkan dampak dari budaya kehidupan jaman Siti Nurbaya.
Ketika
Aryana dilahirkan tidak ada yang mau mengurusnya. Ayahnya pergi menikah lagi ke
sebuah desa nun jauh. Sama halnya dengan ibunya yang menikah dengan seorang berkasta
yang sesuai aturan tak boleh membawanya ikut.
Bahkan
dari yang tak tau apa-apa Aryana sudah lepas dari hangatnya kasih sayang orang
tua. Sungguh malang. Tetapi beruntung, adik ibunya mau merawat Aryana kecil.
Ibu angkat Aryana bukanlah orang yang berada,
selain Aryana, ia juga harus merawat
keempat anak kandungnya. Tanpa pilih kasih. Aryana tetap dianggap
sebagai anaknya sendiri.
Masa
kecil Aryana jauh dari kata menyenangkan. Kerasnya hidup menempa ia menjadi
pribadi yang serba bisa. Bukan karena bakat, melainkan mau tak mau ia harus
dapat melakukan segalanya. Merawat adik, memasak, menganyam bambu, semua harus
dapat ia lakukan demi hutang budi ke ibu angkatnya.
Dibalik itu semua, tersimpan dalam hati Aryana untuk
sekolah. Mimpi besar Aryana adalah menjadi pendidik. Tugas mulia sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa.
“Iii…buu bolehkah aku sekolah?” pinta Aryana dengan
lirih.
“Maafkan ibu yan, ibu ingin sekali menyekolahkanmu, tapi
ibu belum punya uang”
“Iya ibu tidak apa-apa”
Aryana
benar-benar tau keadaan hidupnya. Ia tidak mau terlalu memaksakan kehendaknya untuk
sekolah. Ia terus bekerja keras setiap hari, bekerja apapun dia akan lakukan
asalkan baik dan mendapatkan uang. Jika lebih, uangnya akan dia tabung di
celengan bambu miliknya. Berkat ketekunan, Aryana akhirnya dapat bersekolah.
Dari tahun ke tahun banyak pekerjaan telah ia lakukan, mulai dari kernet bus
sampai kuli bangunan. Semua ia lakukan demi mimpi besarnya.
Memang, waktu berjalan sangat cepat. Aryana sudah hampir menyelesaikan sekolahnya,
sedikit lagi ia akan menjejaki bangku
kuliah, jika dihitung-hitung ia tinggal mengumpulkan sedikit lagi uang untuk
biaya awal kuliahnya.
Pendaftaran
tinggal tiga hari lagi, ketika Aryana ingin menghitung uangnya, tiba-tiba
celengan bambunya hilang. Ia mencari di bawah kasur, di belakang lemari, ia
mencarinya kemana-mana tapi tidak menemukannya. Saat itu ia panik setengah
mati.
“Ibu,
apakah ibu mengambil celengan bambuku?” Tanya Aryana kepada ibunya
“Tidak
yan, ibu tidak pernah melihat apalagi mengambil celengan bambumu”
Aryana
terus mencari celengannya. Ketika sampai di dapur dia terkejut melihat adik
terkecilnya sedang memasak air menggunakan bambu.
“Dik,
kamu sedang apa?” Tanya Aryana kepada adiknya
“Sedang
memasak air kak” jawab adik terkecilnya
“Dimana
kamu mendapatkan bambu itu?”
“Dari
sana” menunjuk tempat Aryana menyimpan celengannya
Aryana diam.
Dadanya serasa ditusuk. Perasaan perih berbaur, bercampur dengan pikiran
kacau. Sekarang, semua uangnya sudah menjadi abu.
“Sia-sia
yang kulakukan selama ini” bisik hati Aryana.
Aryana tidak bisa menyalahkan adiknya
karena dia belum tau apa-apa. Tak terasa butiran air bening membasahi pipinya,
tak bisa menahan perih di hati.
“Yan,
kenapa kamu menangis?”
“Uangku
bu….uangku untuk kuliah telah hangus terbakar”
“Kenapa bisa terbakar?” Tanya ibunya dengan sedikit
terkejut
“Dibakar adik bu…”
“Sudahlah yan…jangan bersedih lagi! Jangan juga marahi
adikmu! Kamu bisa memakai uang simpanan ibu dulu”
“Tapi bu, uang itu kan dipakai untuk keperluan
sehari-hari?”
“Tidak apa-apa, rasa sakitmu lebih besar dari ibu. Ibu
yakin mimpimu adalah penolong keluarga ini kelak”
Tangis Aryana hilang setelah mendengarkan perkataan
ibunya. Masih ada harapan untuk ia meraih mimpi.
Hari demi hari telah berlalu. Sekarang Aryana ingin
melihat pengumuman penerimaan mahasiswa yang tertempel di sudut dinding kampus.
Ia mencari namanya urut tetapi tidak berhasil ia temukan.
“Aku tidak lulus” ucapnya dalam hati tak percaya.
Semua kemelut dirasakan Aryana. Perjuangannya seakan
sia-sia. Aryana pulang. Kepalanya terus menatap kebawah. Kakinya terus
berjalan, serasa tanpa pijakan.
“Kenapa
jadi begini. Dosakah aku?, bisik hati Aryana.
Tuhan
serasa tidak memiliki keadilan. Cobaan bertubi-tubi ditinpa Aryana, habis semua
air mata karena meratapi nasibnya.
Hari
itu Aryana tetap melanjutkan pekerjaan. Ia mendapatkan pekerjaan oleh Pak Made,
saudagar kaya di desanya. Aryana diminta menanam singkong, ketika mecangkul
tanah untuk ditanami singkong, Aryana merasa seakan-akan mimpinya terkubur
juga.
“Kenapa
kamu Yan?” Tanya Pak Made melihat wajah Aryana lesu.
“Tidak
ada apa-apa Pak” berpura-pura tidak ada masalah
“Tidak
usahlah kamu berbohong, Bapak sudah dengar cerita dari ibumu”
Aryana
tidak bisa bicara apapun, malu karena sudah berbohong kepada Pak Made.
“Sudahlah
Yan, Apapun yang terjadi hari ini, bersabarlah! Tidak ada orang yang bisa
langsung bahagia, tanpa diuji kesabarannya dalam kesedihan. Bapak akan
membantumu, besok mendaftarlah lagi!”
“Bernahkah
itu Pak?” Aryana tak percaya
“Iya,
Bapak sudah melihat ketekunanmu selama ini, kamu pantas mendapatkannya”
Senyum
bahagia dirasakannya Aryana. Senyum paling indah yang memaksa diri keluar melalui
linangan air mata. Mimpi yang tadi
terkubur tumbuh menjadi harapan baru bagi dirinya.
P.S. : Aryana adalah
nama ayah saya dan wanita hebat dalam foto itu adalah ibu angkatnya sedangkan laki-laki
disampingnya adalah saya, cucu tergantengnya J