Banyak orang menyesali kekurangan yang dimilikinya sebagai alasan dari keterpurukannya. Ada hal tertentu yang memang tak bisa kita ubah. Anda, misalnya, tak bisa meminta kepada Tuhan untuk dikirim kembali ke rahim orang lain agar mempunyai bentuk dan kekuatan fisik yang berbeda. Tentu tidak. Tetapi masa depan kita itu sesungguhnya menjadi tanggung jawab kita juga.
Saya ingin mengajak Anda merenungi kehidupan Presiden Theodore Roosevelt yang lahir di New York City pada 1858. Ia anak kedua dari empat bersaudara. Enam generasi Roosevelt yang datang dari negeri Belanda ini mewarisi berbagai penyakit degeneratif seperti rabun jauh dan alergi bronkial yang parah.
Sejak dilahirkan, TR, panggilan akrabnya, sudah mengalami serangan asma bronkial yang disebabkan pembengkakan selaput lendir dengan sekresi akut, sehingga saluran pernapasannya terganggu. Rangsangan saraf, makan tertentu, serbuk sari yang banyak beterbangan pada musim semi, atau gangguan emosional, dapat dengan mudah memicu serangan asma pada dirinya.
Episode tersebut terjadi selama masa kanak-kanak TR pada interval yang tinggi. Ia sering tiba-tiba terbangun dari tidur nyenyaknya dengan terengah-engah, sesak napas, dan wajahnya pucat kebiruan. Erangan-erangan halus sering menemani hari-harinya. Pasien kecil itu sering kelelahan dan tidak bisa bernapas ketika barbaring. Kalau sudah tidur, bunyi napasnya bisa berisik. Menurut catatan sejarah, TR kecil hanya menemukan kenyamanan tidur dalam pelukan ayahnya.
Asma yang diderita Roosevelt terus berlanjut bahkan kemudian disertai dengan diare. Ini menunjukkan bahwa saluran ususnya juga sensitif terhadap alergi.
PERJALANAN MENGUBAH NASIB
Pada 1869, ayah TR melakukan perjalanan ke luar negeri, berharap perubahan iklim dapat mengurangi penderitaan kedua anaknya. Mereka mengunjungi Prancis, Italia, Austria, dan Jerman yang memiliki tekanan udara lebih rendah dengan debu dan serbuk sari yang kadarnya jauh lebih aman. Lalu, mereka mengunjungi Mesir. Di sana, TR dibawa ke sebuah kawasan spa untuk terapi.
Alergi pernapasan dan gangguan pencernaan yang dialami TR menghambat perkembangan fisiknya. Kesehariannya tampak pucat, kerempeng, kecil untuk anak seusianya, dengan kaki kurus, mata biru, dan rambut berpasir. Giginya menonjol, ortodontik. Di kemudian hari, Roosevelt menyembunyikan bentuk giginya yang buruk itu di bawah kumis walrus-nya.
Singkat cerita, TR kecil dikenal sebagai anak penyakitan yang prestasi sekolahnya bisa terganggu. Tetapi, nasihat hebat datang dari ayahnya saat ia berusia 11 tahun. Katanya, “TR, percuma saja engkau belajar keras kalau tubuhmu rapuh. Kendaraan pribadimu yang lemah itu tak akan pernah bisa membawamu ke masa depan yang engkau impikan lewat sekolah”.
Namun, di balik kelembutannya, ayah TR adalah seorang pria tegar yang medorong anak-anaknya membangun tubuhnya dengan latihan yang sistematis. Ia membuat gimnasium pribadi di teras terbuka rumahnya. Di sana, di bawah arahan instruktur khusus, TR dilatih dengan penuh kesabaran dari hari ke hari, tahun ke tahun. Mengangkat beban, push-up, dan melatih kelenturan dengan palang sejajar. Bentuk dadanya yang sempit perlahan-lahan berubah, menjadi berotot dan bidang.
Kelemahan lain datang kemudian : rabun jauh ekstrem. Ini pun agak terlambat diketahui karena TR tak pernah belajar di sekolah formal dengan melihat kearah papan tulis. Maklum, karena fisiknya lemah, TR harus ikut home schooling dengan guru privat, sehingga miopinya tidak diketahui orangtua. Jadi, pandangannya hanya dipakai untuk menulis dan membaca jarak dekat. Di kejauhan, ia hanya bisa melihat garis samar-samar. Cacat matanya pertama kali diketahui saat ia diajarkan ayahnya menembak pada usia 13 tahun. Ia sama sekali tidak bisa membidik sasaran jauh.
Dilengkapi dengan kacamata berlensa tebal, TR berlatih menembak sampai mahir. Ia pun terobsesi membagun keunggulan dalam permainan dan olahraga yang menyerukan kekuatan, ketahanan, dan keterampilan, seperti tinju, gulat, mendayung, berkuda, dan mendaki gunung. Ia juga menjadi petenis yang handal, bahkan judo, karate, dan renang. Nasihat ayahnya benar-benar merasuki jiwanya.
Berkat kerja kerasnya itu, ia diterima bersekolah di Harvard sebelum belajar hukum di Columbia Law School. Sementara di sekolah hukum, ia terpilih sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, komisaris di Kepolisian Kota New York, sebelum diangkat menjadi Asisten Sekretaris Angkatan Laut oleh Presiden McKinley. Bahkan kemudian, ia bergabung dengan resimen kavaleri untuk bertarung dalam Perang Spanyol-Amerika di Kuba dan mendapat gelar pahlawan nasional.
Belakangan, ia terpilih sebagai Gubernur New York State pada November 1898, dan tahun berikutnya terpilih sebagai calon wakil presiden pada konvensi Partai Republik di Philadelphia. Pada 4 Maret 1901, Roosevelt mengucapkan sumpah sebagai wakil presiden. Dan pada usia 42, ia disumpah sebagai Presiden Amerika Serikat termuda.
Theodore Roosevelt yang kendaraan pribadinya dulu begitu rapuh, kini terkenal dengan ucapannya, “Melesat seperti roket”. Sebab, selain negarawan, ia juga dikenal sebagai sejarawan, penjelajah pemberani, dan aktivis lingkungan yang tak tertandingi. Para sejarawan menyebutkan, mungkin ia adalah negarawan paling berhasil dalam sejarah bangsa Amerika.
Jangan lupa, ia adalah Presiden Amerika yang membangun Terusan Panama dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Bayangkan, apa jadinya dunia ini kalau ayah TR hanya sibuk mengurus dirinya sendiri dan memanjakan anaknya yang lemah, menjadikannya passenger malas yang dibesarkan dalam keluarga serba ada? Bayangkan pula kalau TR berperilaku manja dan menyesali kelahirannya. Kalau itu yang dipilih, Anda pasti mengatakan itu sah-sah saja. Apalagi ayahnya adalah seorang saudagar kaya dan bankir. Ibunya juga keturunan dari Robert III, Raja Skoltlandia. Sekedar menjadi passenger pun bisa hidup enak. Hartanya pasti tak akan pernah habis hingga beberapa keturunan.
Dikutip dari buku Self Driving : Menjadi Driver atau Passenger? oleh Rhenald Kasali