Temanku Kakek Ketut

Ada apa dengan kakek itu? Terbenak rasa penasaran selalu, ketika melewati jembatan yang sering kuseberangi saat pulang sekolah. Seorang kakek hampir setiap hari melihat ke arah sungai kotor. Wajah yang lusuh, cemberut memandang sampah yang tidak dapat mengalir mulus di air.
Suatu hari kebetulan aku pulang dengan temanku Wira karena dia ingin main dirumahku dan lagi-lagi aku melihat kakek itu di tepi sungai.
“Ehh, Wir..!”
“Hmm.. ada apa?”
“Coba kamu lihat ke tepi sungai itu!” Sambil menunjuk.
“Mana? Oh… yang kau maksud kakek tua itu?”
“Iya benar”
“Memang ada apa dengannya?”
“Hampir setiap hari aku melihatnya disitu, menatap kearah sungai kotor itu”
“Mungkin dia mau bunuh diri”
“Ah… masak sih?”
“Ya kalau bukan itu, berarti dia gila”
“Haha… bisa jadi itu”
Ketika aku tertawa terlihat sepintas kakek itu melirik kearahku dan memperlihatkan senyum tipisnya. Aku berpikir “Mungkin benar kata Wira kalau kakek itu memang gila”, jadi aku bergegas meninggalkan jembatan agar tidak terlihat oleh si kakek.
Sesampainya dirumah aku langsung bermain game online dengan Wira sampai lupa melepas seragam sekolah. Tak terasa kami bermain sampai dua jam lebih. Setelah itu, tiba-tiba suasana menjadi sangat panas. Firasatku buruk, seperti akan ada sesuatu yang terjadi.
“Wir… kok panas banget ya” kataku mengeluh.
“Iya nih, tiba-tiba panas” kata Wira menimpali.
            Benar saja. Aku mendengar suara langkah kaki pelan namum meyakinkan. Mendekat sampai di depan pintu. Didobrak dengan kerasnya pintu itu dan muncul sesosok makhluk mengerikan.
“Raaiiii!!! Kamu itu yaa, pulang sekolah udah main game. Belum makan. Seragam juga belum dilepas. Ibu itu…”
“Ta…Tantee.. aku pamit pulang dulu ya, udah di telepon sama papa” Wira tiba-tiba memotong pembicaraan ibu lalu pergi meninggalkanku sendiri.
“Kamu itu ya, benar-benar nakal sekali. Sekarang cepat ganti seragammu terus mandi!”
“Ii..iyaa bu..” Langsung berlali melesat ke kamar mandi.
Selesai mandi, ibu masih memasang wajah masam kepadaku.
            “Rai… Ibu tidak suka kamu melakukan hal seperti tadi. Sekarang kamu sudah SMP, prilakumu harus diubah!”
            “Ahh… Ibu ini, Rai kan jarang-jarang ada temen ke rumah, jadi ngga apa-apa lah. Lagian ini kan tahun 2019 bu, sudah banyak orang yang kaya karena main game
            “Kamu ini ya dibilangin malah ngelawan”
            “Bukan ngelawan bu, cuma membela diri, hehe” aku tersenyum tanpa rasa bersalah. Lalu pergi masuk ke kamar.
Aku melanjutkan. Iya apalagi kalau bukan main game. Hanya sekarang, aku memakai headshet agar suaranya tak terdengar oleh ibu. Hari-hariku yang dulu membosankan selalu diisi dengan kegiatan menyenangkan ini. Didampingi minuman soda dan kentang goreng, aku bermain dengan teman-teman lewat dunia maya.
Dua sampai tiga jam berlalu. Tidak terasa cahaya yang tembus memantul menerangi kamar sekarang kian redup. Tapi aku masih asyik saja bermain. Tanggung. Sedikit lagi aku bisa mengalahkan teman-temanku.
Walaupun aku bilang teman-teman. Nyatanya dari sekian banyak teman itu tak satupun yang aku kenal dengan akrab, tak terkecuali Wira. Entahlah kenapa bisa begitu, aku tak peduli. Definisi teman menurutku adalah orang-orang yang menguntungkanku dan aku menguntungkan mereka. Cukup itu saja.
Keesokan paginya, sebelum kesekolah aku biasanya sarapan roti selai kacang, mulutku sontak berhenti mengunyah karena mendengar berita di televisi mengenai sungai di dekat rumah. Mereka mengatakan kalau sungai Tegal Badeng sudah sangat tercemar disebabkan oleh limbah pabrik dan rumah tangga. Miris memang, sungai yang seharusnya disucikan oleh masyarakat Bali sekarang kondisinya malah seperti ini. Tetapi ya sudahlah, anak kecil sepertiku mau berbuat apa, tidak ada yang bisa aku lakukan. Jadi, aku melanjutkan memakan roti selai kacangku yang enak.
Di dalam perjalanan menuju sekolah aku jadi teringat kembali tercampur heran dengan kakek yang sering berdiri di pinggir sungai penuh sampah . Ia bisa tahan mencium aroma sungai meyengat menusuk hidung. Orang yang pilek pun aku rasa bisa sembuh karna saking baunya sungai itu. Sungguh kakek yang aneh.
Teringat dengan si kakek. Tak terasa langkah kakiku sudah sampai saja di atas jembatan. Dari kejauhan, terdengar suara keributan yang mendekat dengan pasti. Awalnya samar-samar, lama-kelamaan terdengar jelas. “Maling! Maling!”. Warga berkerumun mengejar seorang laki-laki setengah baya yang mendekap sepasang kaca spion mobil di tangannya. Dengan cepat si maling berlali sampai berada di depanku. Maling itu menatapku panik dengan mata melotot. “Minggir kau!” Ucap si maling sambil mendorongku hingga terperosok hilang keseimbangan. Jatuh kesungai kotor sudah tak bisa terelakan. Aku panik berusaha mengayuh tangan dan kaki agar bisa menghirup udara. Kelelahan karena tak punya kemampuan berenang dan kehabisan udara membuatku pasrah akan kematian. Aku merasa ini adalah akhir hidupku.
“Bangun! Bangun! Sadarlah!” ucap seseorang sambil menepuk pipiku.
Aku berlahan membuka mata, terlihat seorang anak dengan topi anyaman bambu melekat di kepalanya. Aku bangun. Sekilas melihat sekeliling suasananya sangat berbeda. Hamparan sawah hijau tanpa ditumbuhi beton. Sungai yang kurasa adalah tempat aku jatuh sangatlah bersih tanpa ada bau busuk berbekas di badan. Aku senang, sepertinya aku sudah sampai di surga.
“Apakah kau yang disebut malaikat maut?” Tanyaku padanya sambil tersenyum.
“Apa kau sedang mengigau?” anak itu heran sambil menepuk dahiku.
“Aduh! Sakit tau!”
“Itu agar kamu kembali sadar” alasan anak itu menepukku.
“Sekarang aku ada dimana?”
“Kau sekarang ada di desa Tegal Badeng. Tadi aku menolongmu karena hampir tenggelam di sungai”
 “Tidak mungkin! Tempatku jatuh harusnya sungai yang sangat kotor” ucapku tak percaya.
“Sepertinya kepalamu terlalu banyak kemasukan air. Sini aku antar kamu pondokku untuk istirahat!”
Ditariknya lenganku ke belakang lehernya. Tertatih-tatih bangun karena masih lemas. Aku berjalan menyusuri pematang sawah bersamanya.
“Tunggulah disini! Aku akan memberikanmu teh jahe!
            Aku masih kepikiran saat aku terjatuh tadi. Aku tak pernah melihat sawah disekitar rumah. Jika aku hanyut ke hilir harusnya aku sekarang ada di laut.
 “Minumlah ini!” disodorkannya teh jahe yang tadi ia buat. Tidak terlalu enak. Tapi karena haus dan kedinginan aku meminumnya sampai tak bersisa.
“Siapa namamu?”
“Namaku Rai”
“Kenapa kamu bisa jatuh ke sungai?”
“Aku didorong oleh maling yang tak sengaja kuhalangi jalannya untuk kabur”
“Wah, malang sekali nasibmu. Lalu dimana kamu tinggal?”
“Aku tinggal di Tegal Badeng”
“Berarti rumahmu didekat sini?”
“Belum pasti. Seingatku didekat rumah tidak pernah ada sawah”
“Di Tegal Badeng tidak ada rumah yang didekatnya tak ada sawah. Mungkin kamu harus lebih banyak beristirahat, saranku tinggalah disini hingga besok pagi”
“Tapi, orang tuaku akan cemas”
“Tenang saja, jika kamu bertemu mereka aku akan membantu menjelaskan apa yang terjadi”
Aku mengangguk setuju. Ketika itu kondisi tubuhku masih lemas. Tak ada salahnya menumpang semalam di pondok miliknya.
“Aku belum tahu siapa namamu”
“Namaku Ketut”
“Dimana orangtuamu?”
“Aku hanya tinggal dengan nenek, tapi sekarang dia sedang berkunjung di rumah saudara”
Persedian pertanyaanku sudah habis. Jadi aku hanya meliriknya sambil berbaring. Malam itu aku memperhatikannya belajar. Pijar redup yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas tikar lusuh, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya.
“Bangun! Rai sudah pagi”
Tersentak aku setengah sadar, terbangun oleh suara Ketut.
“Aku harus mengantarmu pulang”
Dibantunya aku bangun dan tergopoh-gopoh keluar pondok. Menyusuri hamparan sawah hijau lepas, menghirup udara segar dan mendengar burung melagu menyombongkan suaranya. Sungguh kesahajaan yang baru kali pertama kurasakan.
“Dimana tepatnya rumahmu?” tanya Ketut.
“Rumahku di dekat jembatan” jawabku.
Setelah berjalan cukup lama, sampailah kami di jembatan. Ada yang aneh. Jembatan itu hanya terbuat dari bambu, bukan di cor dengan beton seperti yang aku tahu.
“Setelah disini kita kemana?”
“Seharusnya di dekat sini rumahku” jawabku kebingungan.
“Di sekitar sini hanya ada sawah, jika kita berjalan lagi, kita akan keluar dari desa”
Aku hanya diam. Belum paham apa yang terjadi. Aku yakin rumahku di dekat jembatan ini karena ada batu cukup besar sebagai penandanya.
“Baiklah, sepertinya ingatanmu belum pulih. Sebaiknya kita mencari makan. Tunggulah disini sebentar”
Aku hanya bisa mengiyakan. Aku duduk di seberang sungai. Menunggu Ketut mencari makanan. Terlihat dari kejauhan. Dia bukan mencari makanan. Malah dia memotong bambu kecil menjadi dua bagian  dan memasang tali diujungnya. Setelah itu, ia menghampiri pohon pisang tak berbuah. Mengambil sesuatu dari pelepahnya. Merasa semua siap, ia bergegas kembali menghampiriku.
“Ini!” sambil memberikan bambu yang ujungnya terikat tali.
“Apa ini?” jawabku kebingungan.
“Kita memancing untuk makan”
Untuk makan harus memancing dahulu. Sesuatu yang ia ambil dari pelepah pisang adalah cacing. Dengan lihainya ia mengikat cacing itu dan langsung melemparkannya ke sungai. Aku turut mencobanya. Kami menunggu. Sambil memandangi aliran sungai tenang. Airnya sangat jernih. Ikan-ikan kecil melaju senang melawan arus. Tak pernah kusaksikan pemandangan ini seumur hidupku. Ternyata ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada bermain game. Aku ingin sungai kotor di dekat rumahku bisa seperti ini agar aku bisa memancing setiap hari.
Menunggu umpan dimakan, kami mengobrol kesana-kemari, berguyon tertawa lepas tanpa henti. Sangat menyenangkan. Tak terasa satu, dua ikan diangkat oleh Ketut tetapi aku belum mendapatkannya sama sekali.
“Kenapa kamu mudah sekali mendapatkan ikan?” tanyaku.
“Aku juga tidak tahu, mungkin karena tempatnya” jawab Ketut.
Tak mau kalah. Aku berdiri mencari posisi memancing yang bagus. Menyusuri sisi sungai yang lebih dalam.
“Hati-hati Rai!” ucap Ketut.
Tak kugubris kata-kata Ketut, saking cemburunya aku karena belum mendapatkan ikan satupun. Hampir sampai di tempat yang kutuju, tak sengaja kakiku menginjak sesuatu yang lunak. Itu adalah seekor ular. Sontak aku kaget dan terpeleset jatuh kesungai. Aku terjatuh tepat disisi sungai yang paling dalam. Tidak kuat mengayuhkan kaki dan tangan. Hanya berharap Ketut menolongku lagi.
 “Kamu tidak apa-apa kan Rai?” Suara rendah laki-laki yang wajahnya tak nampak jelas karena terhalang silaunya matahari menyadarkanku.  Sedikit demi sedikit terlihat kulit keriputnya yang menandakan bahwa ia bukanlah Ketut tetapi kakek yang sering kulihat di tepi sungai. Sepintas tercium juga bau busuk karena disampingku adalah sungai yang kotor.
“Kenapa kakek tahu namaku?” Aku bertanya keheranan.
“Bagaimana bisa kakek tidak tahu, Dulu kita pernah memancing bersama disini”. Kata si Kakek dengan senyum tipisnya.

NB : Cerpen ini dibuat untuk mengenang kakek saya yang meninggal bulan lalu. Saya hanya bisa mendoakan dan berterimakasih atas kenangan dan pengalaman yang beliau berikan selama masa hidupnya.

0 comments:

Post a Comment

 
Ary Sukma Putra © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top